Ilmu
agama islam sangat luas dan terdiri tingkatan syariat, hakekat sampai
makrifat. Wajar saja, apabila ada perbedaan pendapat mengenai berbagai
hukum dalam agama islam. Termasuk perbedaan pendapat mengenai hukum
memakai azimat.
Sebagian kelompok islam melarang
penggunaan azimat dengan alasannya tersendiri. Di sisi lain, banyak
ulama besar memperbolehkan penggunaan azimat dengan catatan jimat hanya
dianggap sebagai sarana dalam berusaha, bukan penentu segalanya.
Jadi ada dua pendapat di sini, ada yang
memperbolehkan dan ada yang tidak. Kedua pendapat tersebut sama-sama
didukung oleh ulama yang dihormati. Setiap pendapat punya dalil
masing-masing. Selanjutnya, terserah Anda mau meyakini yang mana. Karena
keyakinan Anda adalah hak asasi Anda. Yang penting, kita bisa saling
menghormati keyakinan orang lain.
Kami sebagai pengelola PusatAzimat.Com
tentu saja menyediakan azimat untuk Anda yang meyakini bahwa menggunakan
azimat itu boleh. Dan pendapat ini didukung oleh sebagian besar ulama
yang tergabung dalam Nahdlotul Ulama (NU). Jika Anda punya keyakinan
lain pun tidak masalah. Jangan memaksakan diri untuk menggunakan azimat
apabila Anda merasa tidak sesuai dengan keyakinan Anda. Dan sebagai
manusia yang baik, diharapkan kita bisa menghormati keyakinan orang lain
yang berbeda tanpa perlu mencela.
Azimat hanyalah salah satu cara diantara
sekian banyak cara untuk mendapatkan berkah. Jika Anda tidak ingin
menggunakan azimat, mungkin Amalan Ilmu Hikmah
lebih cocok untuk Anda. Orang bilang "Banyak jalan menuju roma", banyak
cara untuk mencapai tujuan yang sama. Jangan menganggap azimat secara
berlebihan seolah-olah ini satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan
Anda. Banyak orang memilih menggunakan azimat karena cara ini dinilai
lebih praktis dibanding cara-cara lainnya.
Berikut ini, kami sertakan pembahasan mengenai azimat dari KH Muhyiddin Abdusshomad. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember.
Jimat atau azimat dalam bahasa Arab
disebut dengan tamimah (penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda
yang digantungkan di leher atau selainnya untuk melindungi diri, menolak
bala, menangkal penyakit ‘ain[1] dan dari bahan apa pun. (Lisanul Arab
12/69). Dalam perkembangannya, yang dimaksud azimat adalah segala benda
yang diyakini memiliki berkah untuk tujuan-tujuan tertentu.
Sebagian orang berpendapat bahwa azimat adalah syirik dengan mengambil dasar hadits shahih riwayat Ahmad berikut:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya suwuk (rukyah), jimat dan pengasihan adalah syirik.”
Banyak orang yang tidak paham hadis,
menelan mentah-mentah hadis tersebut dan mengatakan (dengan
ketidaktahuannya) bahwa semua rukyah dan jimat adalah syirik. Padahal
yang dimaksud hadis tersebut tidak demikian.
Dalam ilmu hadis, untuk bisa memahami
hadis, kita harus memahami sejarah munculnya hadis tersebut. Sehingga
kita bisa mengambil kesimpulan yang tepat. Sayangnya, banyak orang yang
merasa pintar berdalil padahal dia hanya membaca hadis terjemahan dan
kemudian mengambil kesimpulan sendiri.
Imam al-Munawi menjelaskan, menggunakan rukyah (kecuali yang syar’iyyah), jimat dan pelet (pengasihan) dianggap syirik sebagaimana dalam redaksi hadits, karena hal-hal di atas yang dikenal di zaman Rasulallah sama dengan yang dikenal pada zaman jahiliyah yaitu ruqyah (yang tidak syar’iyyah), jimat dan pengasihan yang mengandung syirik. Atau dalam hadits, Rasulallah menganggap rukqah adalah syirik karena menggunakan barang-barang tersebut berarti pemakainya meyakini bahwa benda-benda itu mempunyai pengaruh (ta’tsir) yang bisa menjadikan syirik kepada Allah.
Imam Ath-Thayyibi menanggapi hadits tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan syirik pada hadits di atas adalah apabila seseorang meyakini bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan dan bisa mempengaruhi (merubah sesuatu) dan itu jelas-jelas bertentangan dengan ke-tawakkal-an kepada Allah.[2]
Di bagian lain al-Munawi menjelaskan bahwa pengguna jimat sama dengan melakukan pekerjaan ahli syirik apabila pengguna meyakini bahwa jimat tersebut dapat menolak takdirnya yang sudah tercatat.
Namun, jika jimat tersebut berupa asma atau kalam Allah atau dengan (tulisan berbentuk) dzikir Allah yang tujuannya untuk ber-tabarruk kepada Allah atau penjagaan diri serta tahu bahwa yang dapat memudahkan segala sesuatu adalah Allah maka hal itu tidak diharamkan. Pendapat ini disampaikan Ibnu Hajar yang dikutip oleh al-Munawi dalam Faidh al-Qadir.[3]
Sedangkan wifiq adalah semacam jimat yang cara penulisannya dikembalikan pada kesesuaian hitungan dan dalam bentuk tertentu. Wifiq ini dapat bermanfaat untuk segala hajat, termasuk keselamatan, keberhakan dalam usaha, penyembuhan penyakit, memudahkan orang yang melahirkan dan lain-lain.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawi Haditsiyyah-nya menjawab: hukum menggunakan wifiq tersebut adalah boleh jika digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syari’at dan jika digunakan untuk melakukan hal haram maka hukumnya haram. Dan dengan ini, kita dapat menjawab pendapat al-Qarafi (ulama Malikiyyah murid ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) yang menegaskan bahwa wifiq adalah termasuk bagian dari sihir.[4]
Di antara ulama Islam yang ahli dan berkecimpung secara langsung dengan pembuatan wifiq adalah Al-Ghazali. Bahkan Shohabat Abdurrohman bin auf RA. menulis huruf-huruf permulaan AlQur`an dengan tujuan mnjaga harta benda agar aman, Imam sufyan al tsauri menuliskan untuk wanita yang akan melahirkn dan digantung didada , ibnu taimiyah al harrani menulis QS Hud. 44 didahi orang yang mimisan.
Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak
lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk
doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai
azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan
Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya.
Allah SWT berfirman:
“Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.”
Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:
Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).
lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.
A-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).
Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu”. (QS al-Mu’min: 60)
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ
الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,
”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.”
Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anakanaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “‘Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).
Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: “Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya.” (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).
lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.
A-Marruzi berkata, ”Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas).” Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, “Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil.” Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wal Minah al-Mar’iyyah, juz II hal 307-310).
Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.
- Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW.
- Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.
- Tertanam keyakinan bahwa azimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja.” (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).
Jadi apakah islam memperbolehkan azimat? Menurut pendapat dari ulama besar yang kami ikuti perkataannya, bahwa islam memperbolehkan penggunaan azimat
selama azimat tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan di atas. Meskipun demikian, keyakinan Anda adalah hak asasi
Anda. Apabila Anda punya keyakinan lain, jangan paksakan diri untuk
mengikuti keyakinan kami.
***
CATATAN KAKI:
[1] Penyakit yang punya kekuatan membunuh yang muncul dari pandangan mata.
[2] Faidhul Qadir 2/426.
[3] Ibid. 6/223.
[4] Fatawi Haditsiyyah hlm. 2.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking